Ironi Sekolah Unggulan, Barata Berahmana: Tangga Menggenggam Dunia Bagi yang Kaya, Mimpi Karam Untuk yang Tak Punya

Tuesday, 11 November 2025 - 13:46 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Barata Sembiring Berahmana (ist)

Barata Sembiring Berahmana (ist)

JAKARTA–Di “Bumi Turang” Tanah Karo, tempat di mana embun pagi masih jatuh di pucuk ilalang dan sejarah berbisik dari tiap lekuk bukit, Barata Berahmana menyaksikan ironi yang pedih antara sekolah negeri yang sunyi, lusuh, dan letih dan sekolah berlabel “unggulan”.

“Di kejauhan berdiri gedung-gedung berlebel sekolah unggulan, bercahaya bak istana bangsawan baru. Di sanalah anak-anak orang berada menimba ‘keunggulan’. Di sini (sekolah negeri) anak petani menimba harapan yang menetes perlahan seperti hujan kemarau,” ungkapnya lirih.

Barata, tokoh perminyakan yang juga aktif di bidang kebudayaan ini mengaku apa yang diungkapkannya bukanlah untuk mengejek negeri sendiri tetapi suara hati yang tulus untuk menyadarkan semua pihak: untuk siapa sebenarnya pendidikan “unggul” itu dibangun?

“Kata unggul adalah sebuah prasa yang dipoles seperti emas.Tapi bagi kebanyakan anak bangsa, ia hanya menjadi pagar yang mengurung mimpi. Memang bagi yang mampu membayar, ia tangga menuju dunia. Bagi yang tak punya, ia hanya jendela kaca, jernih dipandang, tapi mustahil ditembus,” ungkapnya.

Dikatakan Barata, republik ini dahulu pernah berjanji lahir tanpa kasta, namun kini, lanjutnya, sekolah-sekolah berdiri dalam kasta sunyi yang tak tertulis di undang-undang, tapi ditorehkan dalam batin anak-anak kita setiap hari.

“Ada sekolah-sekolah berhawa dingin, bertabur teknologi, berkurikulum dunia. Ada pula sekolah bersuara kresek plastik di sudut pintu, dinding mengelupas seperti cita-cita muridnya, dan guru-guru yang mengajar di antara lapar dan lelah. Apakah ini kemajuan? Ataukah pembiaran yang dibungkus modernitas?,” tanya Barata.

Barata mengatakan, melihat ironi sekolah unggulan selalu mengingatkan dirinya firman pendiri bangsa: Bung Hatta tentang rakyat, Bung Karno tentang Marhaen, dan konstitusi yang ditulis untuk seluruh anak bangsa, bukan hanya untuk anak para pemilik modal.

“Arus zaman berbelok, dan pendidikan dijadikan pasar. Siapa kaya, hidup. Siapa miskin, karam pelan-pelan,” katanya dengan suara pelan.

Lelaki kelahiran Berastagi yang selalu bangga menyatakan bahwa Tanah Karo adalah rumahnya, mengungkapkan kenangannya tentang Rumah Sakit Umum (RSU) Kabanjahe di tahun 1950-an hingga 1950-an.

“Dulu saat, saat saya masih keccil Rumah Sakit ini terlihat bersih dan mampu melayani setiap pasien yang datang dari seluruh Kabupaten Karo. Bahkan teman-teman Bapaku datang dari Medan untuk berobat ke RSU Kabanjahe. Sekarang seperti apa kondisi RSU Kabanjahe? Datang ke sana dan lihatlah. Kini tinggal bayang dari negara yang sempat peduli,” katanya.

Lalu dengan nada sedikit meninggi Barata mengatakan, apakah gambaran jejak tentang RSU Kabanjahe tersebut akan diikuti sekolah anak-anak di Tanah Karo.

“Sekolah negeri dibiarkan merosot, lalu digantikan oleh kemegahan berbayar, dan kita diminta percaya itu adalah kemajuan? Tidak ! Saya menolak tunduk kepada logika pasar yang membaptis ketidakadilan menjadi “pilihan”. Unggul bukan menyingkirkan, tetapi mengangkat,”katanya.

Barata memberi contoh arti unggul yang sesungguhnya. Katanya, sekolah disebut unggul ketika anak petani di Tigapanah dan anak buruh di Lau Baleng memiliki hak yang sama dengan anak konglomerat di kota besar untuk bermimpi dan terbang.

“Nah, saya harus berkata begini: Unggulkanlah SD, SMP, SMTK yang berada di bawah Pemda Karo. Perbaiki gedungnya. Lengkapi komputer, internet, perpustakaan, toilet siswa laki dan perempuan, siapkan lapangan untuk bermain. Sejahterakan guru-gurunya, agar mereka mengajar bukan sambil memikirkan gas dapur yang hampir habis,” tandasnya.

Sejahterakan Guru

Barata yang sempat bermukim di Singapura selama tiga puluh tahun memaparkan di negara Singa tersebut sekolah-sekolah sangat dimuliakan. Sekolah negerinya bersih, lengkap, terhormat. Lapangannya luas, toiletnya harum, gurunya sejahtera, dan karenanya negara itu memimpin.

“Negara maju rakyatnya sejahtera, bukan karena tambang, bukan karena sawit, tapi karena memuliakan guru. Guru di sana tidak perlu fikir bagaimana mencukupi biaya hidup keluargannya. Semua kebutuhan guru terpenuhi sehingga mereka bisa fokus 100% mendidik anak didiknya.

Bukan seperti di Karo, seorang uru terpaksa cari kerja sampingan guna menyambung hidupnya karena gaji mereka di bawah UMR. Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak ini menjadi penerang bangsa, jika penerang pertama mereka —guru— kita biarkan padam pelan-pelan?

Ingat kisah Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki hancur luluh oleh bom Amerika. Ketika kabar datang kepada Kaisar Hirohito bahwa ratusan ribu rakyatnya wafat, apa pertanyaan pertamanya? “Berapa banyak guru yang selamat?” Sebab bangsa yang ingin bangkit, pertama-tama menyelamatkan guru.

Diakhir perbincangan, Barata mengatakan, dirinya ingin mengajak urun rembuk tentang pendidikan di Tanah karo semua pihak dengan didasari rasa cinta dan ‘kekelengen’. Dikatakan, Kita-merga silima-mungkin tidak mampu membenahi Indonesia seluruhnya, jadi baik mulai membenahi rumah sendiri.

“Kita bisa mulai dari desa kita, dari sekolah rakyat kita, dari anak-anak kita yang tanpa suara namun penuh harap. Perlu bagi kita adalah Buka Mata, Buka Hati, Buka Empati terhadap Bibit Bibit Bangsa kita di Karo dan berusaha memperbaikinya. Duduk jauh di Jakarta dan menjadi Armchair Philosopher tidak membantu. Terjunlah ke lapangan,” katanya. (tra ginting)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Penggiat Budaya Barata Brahmana: Pendidikan Berubah Menjadi Komoditas, Negara Harus Hadir
Jadi Komisaris Holding Tambang Negara, Karir Komjen Pol Fadil Imran Tak Pernah Biasa-Biasa Saja
Dari Bumi Tambun Bungai, Irjen Pol Iwan Kurniawan Mohon Doa Restu
Dilantik Jadi Komandan Reserse Siber Polda Metro Jaya, Kombes Roberto GM Pasaribu Siap Hadapi Kejahatan Dunia Maya
Barata Brahmana, Liston Depari dan Abetnego Tarigan “Berlari Bersama” Di Pilkada Tanah Karo
Bertarung di Pilkada Sumut, Nikson Nababan Ingin Berpasangan Dengan Kader PKB
Anggota MPR RI Rahmad Handoyo Gelar Sosialisasi 4 Pilar di Desa Troboso, Boyolali
Mengungkap Dugaan Penyelewengan Dana di PWI Pusat Itu Rasanya Pahit Tapi Bisa Jadi Obat

Berita Terkait

Tuesday, 11 November 2025 - 14:09 WIB

Polda Metro Sebut Almarhum Hansip Yang Sempat Duel dengan Begal di Cakung Sebagai “Pahlawan Lingkungan”

Friday, 31 October 2025 - 16:36 WIB

Tren Belanja Online Gerus UMKM, Pengamat Minta Pemerintah Buat Regulasi

Monday, 27 October 2025 - 13:00 WIB

Catatan Kritis Ketua SETARA Institute: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Mengkhianati Reformasi 1998

Friday, 17 October 2025 - 15:56 WIB

Densus 88 AT Polri Ajak Sisiwi Madrasah Gelar Bootcamp Genpeace

Thursday, 16 October 2025 - 19:10 WIB

ITW Desak Pemerintah Siapkan ‘‘Panggung Demokrasi’’

Wednesday, 8 October 2025 - 17:23 WIB

Meriahkan HUT TNI ke-80, Polres Depok Jajaran Bersama Kodim 0508 Depok Dendangkan “Selamat Ulang Tahun”-nya Jamrud

Monday, 6 October 2025 - 15:01 WIB

Sukseskan Program “Jaga Jakarta”, Kapolres Depok Ajak Tokoh Masyarakat Ikut Amankan Kota

Wednesday, 1 October 2025 - 13:34 WIB

Menyusuri Jalan Sudirman Tanpa Pengawal, ICPW Sebut Sikap “Agak Laen” Kapolda Metro Irjen Asep Layak Ditauladani

Berita Terbaru