JAKARTA–Di “Bumi Turang” Tanah Karo, tempat di mana embun pagi masih jatuh di pucuk ilalang dan sejarah berbisik dari tiap lekuk bukit, Barata Berahmana menyaksikan ironi yang pedih antara sekolah negeri yang sunyi, lusuh, dan letih dan sekolah berlabel “unggulan”.
“Di kejauhan berdiri gedung-gedung berlebel sekolah unggulan, bercahaya bak istana bangsawan baru. Di sanalah anak-anak orang berada menimba ‘keunggulan’. Di sini (sekolah negeri) anak petani menimba harapan yang menetes perlahan seperti hujan kemarau,” ungkapnya lirih.
Barata, tokoh perminyakan yang juga aktif di bidang kebudayaan ini mengaku apa yang diungkapkannya bukanlah untuk mengejek negeri sendiri tetapi suara hati yang tulus untuk menyadarkan semua pihak: untuk siapa sebenarnya pendidikan “unggul” itu dibangun?
“Kata unggul adalah sebuah prasa yang dipoles seperti emas.Tapi bagi kebanyakan anak bangsa, ia hanya menjadi pagar yang mengurung mimpi. Memang bagi yang mampu membayar, ia tangga menuju dunia. Bagi yang tak punya, ia hanya jendela kaca, jernih dipandang, tapi mustahil ditembus,” ungkapnya.
Dikatakan Barata, republik ini dahulu pernah berjanji lahir tanpa kasta, namun kini, lanjutnya, sekolah-sekolah berdiri dalam kasta sunyi yang tak tertulis di undang-undang, tapi ditorehkan dalam batin anak-anak kita setiap hari.
“Ada sekolah-sekolah berhawa dingin, bertabur teknologi, berkurikulum dunia. Ada pula sekolah bersuara kresek plastik di sudut pintu, dinding mengelupas seperti cita-cita muridnya, dan guru-guru yang mengajar di antara lapar dan lelah. Apakah ini kemajuan? Ataukah pembiaran yang dibungkus modernitas?,” tanya Barata.
Barata mengatakan, melihat ironi sekolah unggulan selalu mengingatkan dirinya firman pendiri bangsa: Bung Hatta tentang rakyat, Bung Karno tentang Marhaen, dan konstitusi yang ditulis untuk seluruh anak bangsa, bukan hanya untuk anak para pemilik modal.
“Arus zaman berbelok, dan pendidikan dijadikan pasar. Siapa kaya, hidup. Siapa miskin, karam pelan-pelan,” katanya dengan suara pelan.
Lelaki kelahiran Berastagi yang selalu bangga menyatakan bahwa Tanah Karo adalah rumahnya, mengungkapkan kenangannya tentang Rumah Sakit Umum (RSU) Kabanjahe di tahun 1950-an hingga 1950-an.
“Dulu saat, saat saya masih keccil Rumah Sakit ini terlihat bersih dan mampu melayani setiap pasien yang datang dari seluruh Kabupaten Karo. Bahkan teman-teman Bapaku datang dari Medan untuk berobat ke RSU Kabanjahe. Sekarang seperti apa kondisi RSU Kabanjahe? Datang ke sana dan lihatlah. Kini tinggal bayang dari negara yang sempat peduli,” katanya.
Lalu dengan nada sedikit meninggi Barata mengatakan, apakah gambaran jejak tentang RSU Kabanjahe tersebut akan diikuti sekolah anak-anak di Tanah Karo.
“Sekolah negeri dibiarkan merosot, lalu digantikan oleh kemegahan berbayar, dan kita diminta percaya itu adalah kemajuan? Tidak ! Saya menolak tunduk kepada logika pasar yang membaptis ketidakadilan menjadi “pilihan”. Unggul bukan menyingkirkan, tetapi mengangkat,”katanya.
Barata memberi contoh arti unggul yang sesungguhnya. Katanya, sekolah disebut unggul ketika anak petani di Tigapanah dan anak buruh di Lau Baleng memiliki hak yang sama dengan anak konglomerat di kota besar untuk bermimpi dan terbang.
“Nah, saya harus berkata begini: Unggulkanlah SD, SMP, SMTK yang berada di bawah Pemda Karo. Perbaiki gedungnya. Lengkapi komputer, internet, perpustakaan, toilet siswa laki dan perempuan, siapkan lapangan untuk bermain. Sejahterakan guru-gurunya, agar mereka mengajar bukan sambil memikirkan gas dapur yang hampir habis,” tandasnya.
Sejahterakan Guru
Barata yang sempat bermukim di Singapura selama tiga puluh tahun memaparkan di negara Singa tersebut sekolah-sekolah sangat dimuliakan. Sekolah negerinya bersih, lengkap, terhormat. Lapangannya luas, toiletnya harum, gurunya sejahtera, dan karenanya negara itu memimpin.
“Negara maju rakyatnya sejahtera, bukan karena tambang, bukan karena sawit, tapi karena memuliakan guru. Guru di sana tidak perlu fikir bagaimana mencukupi biaya hidup keluargannya. Semua kebutuhan guru terpenuhi sehingga mereka bisa fokus 100% mendidik anak didiknya.
Bukan seperti di Karo, seorang uru terpaksa cari kerja sampingan guna menyambung hidupnya karena gaji mereka di bawah UMR. Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak ini menjadi penerang bangsa, jika penerang pertama mereka —guru— kita biarkan padam pelan-pelan?
Ingat kisah Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki hancur luluh oleh bom Amerika. Ketika kabar datang kepada Kaisar Hirohito bahwa ratusan ribu rakyatnya wafat, apa pertanyaan pertamanya? “Berapa banyak guru yang selamat?” Sebab bangsa yang ingin bangkit, pertama-tama menyelamatkan guru.
Diakhir perbincangan, Barata mengatakan, dirinya ingin mengajak urun rembuk tentang pendidikan di Tanah karo semua pihak dengan didasari rasa cinta dan ‘kekelengen’. Dikatakan, Kita-merga silima-mungkin tidak mampu membenahi Indonesia seluruhnya, jadi baik mulai membenahi rumah sendiri.
“Kita bisa mulai dari desa kita, dari sekolah rakyat kita, dari anak-anak kita yang tanpa suara namun penuh harap. Perlu bagi kita adalah Buka Mata, Buka Hati, Buka Empati terhadap Bibit Bibit Bangsa kita di Karo dan berusaha memperbaikinya. Duduk jauh di Jakarta dan menjadi Armchair Philosopher tidak membantu. Terjunlah ke lapangan,” katanya. (tra ginting)








