BERASTAGI–Penggiat budaya Barata Sembiring Brahmana mengaku dirinya miris melihat kondisi dunia pendidikan. Sosok yang kerap mengkritisi isu-isu menyangkut publik ini melihat saat ini sekolah-sekolah sudah berkasta.
“Di satu sisi, berdiri megah sekolah “unggulan” dengan fasilitas berkilau, ruang kelas berpendingin udara, dan biaya ratusan juta per tahun,”.
“Di sisi lain, sekolah negeri di pinggir kota dan desa yang berjuang dengan keterbatasan guru, sarana belajar, hingga gaji tenaga pendidik yang kerap tersendat,” ungkapnya.
“Sekarang sekolah itu sudah ber-kasta. Yang kaya punya sekolah lengkap. Yang miskin, apa adanya. Ini segregation of education.”katanya.
Barata yang selama ini serta dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan politik dalam diskusi melalui WhatsApp dengan tokoh Karo Prof. Alamta Singarimbun menyoroti maraknya sekolah yang dilabel “unggul”. Dikatakan Barata, kata “unggul” tak semestinya menjadi label eksklusif bagi segelintir anak dari keluarga berada.
Lebih jauh, Barata menilai sekolah berlebel “unggul” telah membuka ruang bisnis yang tumbuh subur. Pendidikan yang semestinya menjadi hak warga, kini berubah menjadi komoditas. Mereka yang berduit membuka sekolah plus, bilingual, internasional—sementara 90 persen rakyat lainnya hanya bisa mengakses pendidikan seadanya.
Negara Harus Hadir
Bagi Barata, ini bukan sekadar soal fasilitas. Ini adalah soal keadilan. “Negara harus hadir,” tegasnya. “Tugas negara adalah memastikan semua sekolah negeri—SD, SMP, SMA di bawah Pemda Karo, misalnya—punya mutu yang sama baiknya.”
Namun, ide ini seringkali berbenturan dengan kepentingan pemilik modal. Pendidikan yang dikomersialkan telah menjadi lahan bisnis menggiurkan.
“Di sinilah muncul perlawanan,” tuturnya.
“Karena konsep kesetaraan selalu dianggap ancaman oleh mereka yang diuntungkan dari sistem yang timpang.”
Bidang Kesehatan Bernasib Sama
Barata tak hanya melihat jurang itu di pendidikan. “Lihat saja bidang kesehatan,” katanya mencontohkan. “Rumah sakit negeri dibiarkan merosot, lalu bermunculan rumah sakit swasta.”
Ia masih ingat betul masa kecilnya di tahun 1950-an, ketika Rumah Sakit Kabanjahe menjadi kebanggaan Tanah Karo. “Bersih, melayani semua orang. Bahkan ada teman Bapak saya dari Medan datang berobat ke sana.”
Namun semua berubah sejak 1970-an. Pelayanan publik yang dulu menjadi tulang punggung masyarakat, perlahan kehilangan daya. “Kemerosotan itu bukan kebetulan,” kata Barata.
“Semua by design. Pendidikan dan kesehatan diswastakan. Ini perang ideologi.”
Baginya, persoalan ini bukan semata urusan manajemen atau efisiensi. Ini adalah benturan dua pandangan dunia: neo-liberal kapitalisme melawan ideologi kerakyatan. “Founding Fathers kita sudah memberi arah,” ujarnya sambil menyebut nama Bung Hatta dan Bung Karno.
“Hatta menyebutnya kerakyatan. Bung Karno menamainya Marhaenisme.”
Barata mengingatkan, semangat itu sudah terpatri dalam UUD 1945 dan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.“Itulah tolak ukur saya,” katanya. “Pidato Bung Karno 1 Juni 1945—Lahirnya Pancasila—harusnya menjadi kompas moral bangsa ini.”
Kini, di tengah derasnya arus kapitalisme global, gagasan Barata terdengar seperti suara di padang tandus—namun tetap lantang. Dia percaya, pendidikan dan kesehatan bukan barang dagangan, melainkan hak dasar setiap warga negara.
“Sekolah tidak boleh punya kasta,” tutupnya pelan.
“Kalau negeri ini ingin tetap berdiri kokoh, maka anak petani dan anak pejabat harus bisa belajar di ruang kelas yang sama—dan mendapatkan mutu yang sama baiknya.” **
Penulis : tra ginting









