JAKARTA–Menteri Kebudayaan RI yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyatakan bahwa seluruh tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial, termasuk Soeharto, untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional telah memenuhi kriteria. Tampak jelas, upaya pemerintahan Prabowo Subianto serta elite politik dan penyelenggara negara di sekitarnya untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berlangsung sistematis.
Setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden, sebulan sebelum pelantikan sebagai Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia”.
Sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998. Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi.
Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Menurut UU a quo, untuk mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat. Pasal 24 UU dimaksud mengatur syarat umum sebagai berikut: 1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; 2) memiliki integritas moral dan keteladanan; 3) berjasa terhadap bangsa dan negara; 4) berkelakuan baik; 5) setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan 6) tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengacu pada undang-undang tersebut, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan.
Namun dalam hal tindak pidana korupsi, Soeharto bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung melalui Putusan No. 140 PK/Pdt/2005 telah menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp 4,4 triliun dengan kurs saat itu. Soeharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta kroni Cendana.
Pendek kata, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara. Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan, yang dapat disederhanakan dalam ungkapan “Negara adalah aku” atau L’État, c’est moi seperti ungkapan Raja Louis XIV.**
Hendardi
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute
Sumber Berita : Setara Institute









