JAKARTA – Beberapa pekan terakhir wacana publik tercurah pada agenda politik pemasangan calon presiden-wakil presiden Pemilu 2023. Terkait pemasangan tersebut, ada orang tertentu menengarai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) seolah bermain “dua kaki”. Pandangan ini sangat tidak mendasar dan tidak mengenal partai PDI-P secara komperhenship.
Menurut komunikolog Dr Emrus Sihombing, orang dimaksud mencoba membangun narasi seolah PDI-P bermain “dua kaki”, dengan mengatakan tidak bakal mendepak anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming, dari keanggotaan partai setelah diusung menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto. Jika hal itu dilakukan PDI-P, maka dinilai bisa menutup peluang partai itu masuk kembali ke lingkar kekuasaan, jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pemilihan presiden (Pilpres).
Dalam rilis yang dikirim ke kabarpersada.com, dosen pascasarjana Universitas Pelita Harapan itu mengatakan, orang yang membangun narasi tersebut tidak paham karakter politik PDI-P selama ini. “Secara ideologis, PDP-P punya pendirian politik yang tegas, sebab partai ini lahir dan dibesarkan dari sebuah perjuangan kerja keras dengan tetesan air mata dan darah. Itu nyata,” kata Emrus.
Karena itu, dari aspek komunikasi politik motif narasi yang dikembangkan oleh orang tersebut bertujuan menggiring opini publik untuk kepentingan politik pragmatis. “Katanya, jika Gibran tidak dipecat, PDI-P seolah bermain “dua kaki”. Tapi kalau Gibran dipecat, kelompok kekuatan politik akan mainkan politik “playing victim” sebagai orang yg dizolimi. Ini dapat disebut sebagai politik jebakan batman,” tandas Emrus.
Dikatakan, sekarang Gibran sudah menjadi realitas politik sebagai bakal calon wakil presiden yang diusung sejumlah partai. Karena itu, sebaiknya secara kesatria Gibran yang justru mengajukan mundur diri partai awalnya.
“PDI-P sangat jelas garis politiknya. Partai ini lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba). Tidak satu partai pun di Indonesia yang setegas dan seberani PDI-P. Sebaliknya, bahkan tidak jarang beberapa partai politik menunjukkan politik pragmatisnya,” terangnya.
Lihat saja Probowo dengan Partai Gerindranya, pada Pilpres 2019 mengambil posisi kompetitor bagi Jokowi yang diusung PDI-P. Pemilu 2019 PDI-P menang di Pileg dan Pilpres yang membuat Jokowi menjadi presiden dua periode.
Probowopun turun posisi dari kompetitor yang setara dengan Jokowi pada Pilpres 2019, rela dan serta merta menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan. Justru sikap dan perilaku politik semacam ini belum mempunyai garis yang tegas secara ideologis. Sejatinya, Prabowo dan Partai Gerindra berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi.
Sebab, peran oposisi sama mulianya dengan pemerintah bagi rakyat. Oposisi bisa melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Tapi acapkali ada partai politik dan aktor politik tertentu masih lebih baik memilih “menghambakan” diri terhadap kekuasaan. “Sikap dan perilaku politik semacam ini dipastikan merusak tatanan demokrasi kita di negeri ini yang diperjuangkan seluruh komponen bangsa terutama gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan tagisan dan air mata. Bahkan masih ada aktivis belum kita ketahui di mana rimbanya”.
Dikatakan, PDI-P bukanlah partai yang berdiri di atas politik pragmatis. Dia mencontohkan masa pemerintahan SBY dua periode, PDI-P mengambil garis posisi yang tegas di luar pemerintahan (opisisi). Partai ini berani nenjadi oposisi, dan mengabdi untuk rakyat ketika menjadi pemenang legislatif dan eksekutif, baik nenempatkan kadernya sebagai kepala daerah dan presiden. (nga)